Perkembangan Teknologi Kurun Praaksara
Wednesday, August 5, 2020
Edit
Sekalipun belum mengenal goresan pena insan purba sudah menyebarkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan yang dipakai sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut sanggup berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang dipakai masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and eror. Mula-mula mereka hanya memakai benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang.
Para hebat kemudian membagi kebudayaan zaman kerikil di masa pra-aksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan. Dalam buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan zaman kerikil ini dibagi menjadi tiga yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum
1. Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang dipakai oleh insan purba ialah alat-alat dari kerikil yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman Paleolitikum atau zaman kerikil tua. Zaman kerikil bau tanah ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada kiamat Tersier dan awal zaman Quartair. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting alasannya terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis insan purba. Zaman ini dikatakan zaman kerikil bau tanah alasannya hasil kebudayaan terbuat dari kerikil yang relatif masih sederhana dan kasar.
Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan PacitanKebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
- Di tempat Pacitan sejumlah alat-alat kerikil berupa kapak genggam, chopper, alat penetak/kapak berimbas (berupa kapak tetapi tidak bertangkai dipakai dengan digenggam di tangan).
- Di tempat Ngandong ditemukan alat-alat dari kerikil dan tulang yang berfungsi sebagai penusuk/belati
Kebudayaan ini berkembang di tempat Pacitan, Jawa Timur. von Koeningwald dalam penelitiannya pada tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari kerikil di Sungai Baksoka bersahabat Punung. Alat kerikil itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat kerikil ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini dipakai untuk menusuk hewan atau menggali tanah ketika mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat kerikil yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih. Alat-alat itu oleh Koeningswald digolongkan sebagai alatalat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”, yakni suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koeningswald ini kemudian dianggap kurang tepat
Setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”. Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Pendapat para hebat condong kepada jenis insan Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat wacana umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat simpulan Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di tempat Ngandong dan juga Sidorejo, bersahabat Ngawi. Di tempat ini banyak ditemukan alat-alat dari kerikil dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang hewan dan tanduk rusa yang diperkirakan dipakai sebagai penusuk atau belati. Selain itu, ditemukan juga alat-alat menyerupai tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah menyerupai kalsedon. Alat-alat ini sering disebut dengan flake. Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas semenjak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman kerikil terus berkembang memasuki zaman kerikil madya atau kerikil tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan kerikil madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua). Bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding sanggup diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh hingga Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini sanggup memberi info bahwa insan purba zaman Mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai.
Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melaksanakan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari kerikil kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bab dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis kerikil pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa kerikil pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melaksanakan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari kerikil kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bab dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis kerikil pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa kerikil pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
b. Kebudayaan Abris Sous Roche
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa insan purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa bersahabat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928 hingga 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan contohnya ujung panah, flakke, kerikil penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan contohnya di Besuki, Bojonegoro, juga di tempat Sulawesi Selatan menyerupai di Lamoncong.
3. Mengenal Api
Bagi insan purba, proses penemuan api merupakan bentuk penemuan yang sangat penting. Penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode insan Homo erectus. Api dipakai untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin. Penemuan api juga memperkenalkan insan pada teknologi memasak masakan dengan cara membakar. Manusia juga memakai api sebagai senjata menghalau hewan buas yang menyerangnya. Api sanggup juga dijadikan sumber penerangan. Dengan api insan sanggup menaklukkan alam, menyerupai membuka lahan untuk garapan dengan cara mengkremasi hutan.
Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan yang gampang terbakar dengan benda padat lain. Misalnya saja kerikil api, jikalau dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menjadikan api. Pembuatan api juga sanggup dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jikalau digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas alasannya ukiran itu kemudian menjadikan api.
Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode ini. Namun bukan berarti insan purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang. Akan tetapi belum sanggup dipastikan apakah insan purba menciptakan api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, acara vulkanik, dll). Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun belum sanggup dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki ini masih belum sanggup terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan insan atau pengambilan dari sumber api alam.
Perkembangan zaman kerikil yang sanggup dikatakan paling penting ialah zaman kerikil gres atau neolitikum. Pada zaman ini telah terjadi perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman kerikil baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak , hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang populer di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.
a. Kebudayaan Kapak Persegi
Related:
Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Dinamakan Kapak Persegi menurut penampangnya berupa persegi panjang atau trapesium. Pengertian kapak persegi bukan hanya kapak saja, tetapi banyak alat lain dalam banyak sekali ukuran dan keperluan menyerupai beliung/pacul alat yang besar ,dan yang kecil yaitu tarah dgunakan untuk mengerjakan kayu. Penyebaran kapak persegi terutama di Kepulauan Indonesia bab barat, menyerupai Sumatra, Jawa dan Bali. Diperkirakan sentrasentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.
b. Kebudayaan Kapak Lonjong
Nama kapak lonjong ini diadaptasi dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bab ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bab timur, contohnya di tempat Papua, Seram, dan Minahasa.
Pada zaman Neolitikum, juga ditemukan barang-barang perhiasan, menyerupai gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar. Manusia purba waktu itu sudah mempunyai pengetahuan wacana kualitas bebatuan untuk peralatan. Penemuan dari banyak sekali situs memperlihatkan materi yang paling sering dipergunakan ialah jenis batuan kersikan (silicified stones), menyerupai gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper.
Di beberapa situs yang mengandung fosil-fosil kayu, menyerupai di Kali Baksoka (Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk materi peralatan. Pada ketika lingkungan tidak menyediakan materi yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh semacam ini sanggup diamati pada situs Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya memakai materi andesit untuk peralatan.
Mengakhiri zaman kerikil masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam atau perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia berbeda dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu dan besi, sedangkan di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Beberapa pola benda-benda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, banyak sekali barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan contohnya nekara.
Bentuk arsitektur pada masa pra-aksara sanggup dilihat dari tempat hunian insan pada ketika itu. Dari pola mata pencaharian insan yang sudah mengenal berburu dan melaksanakan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar-gambar dinding goa tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari- hari, tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi. Gambar dinding yang tertera pada goa-goa pertanda pada jenis hewan yang diburu atau hewan yang dipakai untuk membantu dalam perburuan. Anjing ialah hewan yang dipakai oleh insan pra-aksara untuk berburu binatang.
Bentuk pola hunian dengan memakai penadah angin, menghasilkan pola menetap pada insan masa itu. Pola hunian itu hingga ketika ini masih dipakai oleh Suku Bangsa Punan yang tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan bab bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di goa. Secara sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang memperlihatkan secara implisit memperlihatkan batas ruang. Pada kehidupan dengan masyarakat berburu yang masih sangat tergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam. Dengan demikian konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur. Pola garis lengkung tak teratur menyerupai fatwa sungai, dan pola spiral menyerupai route yang ditempuh mungkin ialah gambaran pola ruang utama mereka. Ruang demikian belum mngutamakan arah utama. Secara sederhana dapatlah kita lihat bahwa, pada masa praaksara konsep tata ruang, atau yang ketika ini kita kenal dengan arsitektur itu sudah mereka kenal.
Zaman | Hasil Kebudayaan | Cara Hidup |
Paleolitikum | Budaya Pacitan : Kapak perimbas dan penetak. Budaya Ngandong : Alat dari tulang dan tanduk, alat yang terbuat dari batu-batu kecil | Food gathering awal (berburu dan meramu). Tinggal berpindah-pendah (nomaden) |
Mesolitikum | Budaya Bascon Hoabind ; Kapak Sumatera, kapak genggam, alat dari tulang, kapak pendek, dan kerikil serpih | Food gathering lanjut. Tinggal semi nomaden, Kjokkenmoddinger. Abris Sous Roche |
Neolitikum | Kapak persegi, kapak lonjong, tembikar/gerabah, perhiasan | Food producting, tinggal menetap, bercocok tanam, beternak |