Daftar Nama Kerajaan Di Kepulauan Maluku
Thursday, March 26, 2020
Edit
Kepulauan Maluku yakni sekelompok pulau yang terletak di lempeng Australia. Kepulauan Maluku berbatasan dengan Pulau Sulawesi di sebelah barat, Nugini di timur, dan Timor Leste di sebelah selatan. Pada zaman dahulu, bangsa Eropa menamakannya "Kepulauan rempah-rempah" istilah ini juga merujuk kepada Kepulauan Zanzibar. Sejak 1950 - 1999, Kepulauan Maluku Utara secara administratif merupakan potongan dari Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Utara kemudian ditetapkan sebagai Provinsi Maluku Utara.
Provinsi Maluku dan Maluku Utara membentuk suatu gugus-gugus kepulauan yang terbesar di Indonesia dikenal dengan Kepulauan Maluku dengan lebih dari 4.000 pulau baik pulau besar maupun kecil. Maluku mempunyai sejarah panjang perihal kerajaan dan kesultanan yang pernah dan masih berkuasa di Kepaulauan Maluku. Berikut ini beberapa kerajaan dan kesultanan yang ada di kepulauan Maluku.
Kesultanan Bacan yakni suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam yakni Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, daerahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua Barat.
Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool yang terletak di Raja Ampat dan beberapa kawasan lain yang berada di bawah manajemen pemerintahan kerajaan Bacan. Bachanatau Batjan dan diduga sudah eksis semenjak tahun 1322.
Kesultanan Ternate (1257–1950) M
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh masa ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang meliputi wilayah Maluku, Sulawesi potongan utara, timur dan tengah, potongan selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama).
Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682)
Kerajaan Tanah Hitu terletak di Pulau Ambon, tepatnya di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Dinamakan Kerajaan Tanah Hitu sebab letaknya berada di kawasan Leihitu. Kini, nama Tanah Hitu sudah tidak ada lagi, yang ada yakni Kecamatan Leihitu yang kadang biasa disebut dengan Jazirah Leihitu.
Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Empat Perdana tersebut bersepakat untuk bersatu dan mereka akhirnya mendirikan Kerajaan Tanah Hitu.
Hasil musyawarah memilih bahwa yang pantas sebagai pemimpin yakni anak dari Pattituri, adik kandung Perdana Tanah Hitu yang berjulukan Zainal Abidin dengan pangkat Abubakar Na Sidiq. Pada tahun 1470, Zainal Abidin kemudian ditetapkan sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama dengan gelar Upu Latu Sitania (Raja Penguasa Tunggal). Ia juga mendapatkan gelar Raja Tanya.
Masa pemerintahan Raja Hunilamu (1637-1682) merupakan periode terakhir dari kerajaan ini. Hingga kini, secara bebuyutan kerajaan tersebut diintegrasikan dalam bentuk kepemimpinan kepala desa di Desa Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Artinya, hingga sekarang kepala desa juga merangkap sebagai raja.
Kesultanan Tidore (1081–1950) M
Kesultanan Tidore yakni kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara. Pada masa kejayaannya (sekitar masa ke-16 hingga masa ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore mendapatkan Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugal. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 sebab protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah satu kerajaan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap daerahnya dan tetap menjadi kawasan merdeka hingga simpulan masa ke-18.
Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama yakni Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Baru pada simpulan masa ke-14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja Tidore ke-11, Sultan Djamaluddin, yang bersedia masuk Islam.
Kerajaan Iha (1400-1651) M
Kerajaan Iha yakni sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Saparua, Maluku. Di Pulau Saparua hingga pada masa penjajahan Belanda ada dua kerajaan yang populer yaitu Iha dan Honimoa (Siri Sori Islam). Kedua kerajaan Islam yang cukup besar lengan berkuasa ini sempat dikenal sebagai sapanolua artinya dua sampan atau dua perahu. Nama Amahai sudah ada semenjak negrasi besar-besaran dari nunusaku, yaitu kira-kira pada tahun 1400 M.
Raja iha pertama berjulukan Latu Sapacua yang artinya raja yang sangat dijunjung tinggi. Kerajaan Iha mempunyai ibu kota kerajaan dalam bahasa Amaiha disebut “Amalatu” yang terletak di potongan utara Nusa Iha (pulau saparua) yang dikenal dengan sebutan jazirah Hatawano dengan taman sarinya berjulukan “Kupa Latu”. Kota raja ini terletak di atas gunung Amaihal. Raja Kerajaan Iha disebut “Upu Latu” dengan gelar Latu Sapacua Latu.
Kerajaan Iha terlibat dalam sebuah perlawanan melawan kolonial Belanda yang disebut Perang Iha (1632-1651) yang mengakibatkan kerajaan ini kehilangan sebagian kawasan dan rakyatnya sehingga kemudian mengalami kemunduran.
Kerajaan Waai
Negeri Waai terletak di Pulau Ambon, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Para datuk dan nenek moyang masyarakat Waai berasal dari Pulau Seram dan Jawa ( Tuban ). Semula ada tujuh buah kampong atau Eri yang kemudian bersepakat untuk mencari suatu negeri yang ketika ini dikenal dengan nama Waai.
Meskipun mereka berkuasa secara otonom di negeri masing-masing namun mereka tunduk pula kepada kuasa seorang Sultan (pimpinan Agama Islam ) yang pada waktu itu berekdudukan di Eri Eluhu yakni Nuhurela. Dengan demikian sanggup disebutkan bahwa ketujuh eri tesebut yakni beragama Islam. Dapat dibuktikan dengan adanya bangunan Masjid di Eri Nani, yang nantinya gres pada masa ke – 17 datanglah orang-orang Nasrani melalui perjuangan para Zendeling.
Kesultanan Loloda (1200-1662)
Kesultanan Loloda terletak di Halmahera Utara, dan diyakini sebagai salah satu kerajaan tertua di Maluku. Kerajaan Loloda terbentuk berkisar tahun 1200, sebab pada tahun 1250 terjadi perkawinan antara Raja Loloda dan Putri Jailolo. Sehingga diperkirakan Loloda lebih dulu terbentuk dari kerajaan Jailolo, jadi ada perkawinan politik antara penguasa loloda dan penguasa jailolo dan kesudahannya pada tahun 1250 kerajaan jailolo teritorialnya meliputi hampir seluruh Halmahera termasuk kerajaan Loloda.
Ketika bangsa eropa tiba di Maluku awal masa 16 kerajaan Loloda sudah tidak berperan dan tidak besar lengan berkuasa sebab sudah diamuksasi oleh kerajaan ternate, namun hingga tahun 1662 rakyat diberikan kesempatan memakai gelar kolano raja Loloda
Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa berdasarkan sumber dari Negara Krtagama dari zaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh Mpu Prapanca, menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano (raja) di Loloda, Halmahera. Selain itu ada beberapa pendapat lain yang menjelaskan perihal berdirinya Kesultanan Loloda .
Kesultanan Jailolo (1600-akhir Abad 17) M
Kesultanan Jailolo diketahui semenjak masa ke-16. Terletak di pulau Halmahera, Kab. Halmahera Barat, Prov. Maluku Utara. Kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya “Kolano Daradjati”. Daftar sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bagian.
Sebelum masa ke-17, ada satu kerajaan Islam, Kesultanan Jailolo, yang berpusat di Pulau Halmahera, pulau terbesar di Maluku Utara. Menurut legenda yang sempat dicatat hingga masa ke-14, kesultanan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku Utara hingga pada simpulan masa ke-17 tidak tercatat lagi secara administratif sebab dianeksasi oleh Kesultanan Ternate dengan proteksi VOC.
Setelah kejadian aneksasi Kesultanan Jailolo oleh Kesultanan Ternate, muncul kembali upaya menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dari masyarakat Halmahera Utara. Upaya itu dimulai pada dekade pertama masa ke-19. Sayangnya hingga pertengahan masa ke-19, upaya itu tidak berkelanjutan.