Upacara Moral Rambu Solo Sulawesi Selatan
Friday, October 30, 2020
Edit
Upacara watak Rambu Solo' merupakan upacara watak selesai hayat dan tata cara penguburan masyarakat Tana Toraja (Sulawesi Selatan). Upacara tersebut tergolong unik dan menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi Provinsi Sulawesi Selatan. Upacara Rambu Solo' bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah daerah peristirahatan. Upacara ini sering diadakan dikala demam isu panen datang yaitu sekitar bulan Agustus - Nopember.
Upacara Rambu Solo' diadakan oleh masyarakat Tana Toraja alasannya mereka meyakini bahwa seseorang dianggap benar-benar meninggal kalau penguburan telah dilaksanakan. Selama upacara tersebut belum diadakan, orang tersebut dianggap masih sakit dan ditempatkan di sebelah selatan Tongkonan (rumah watak di Tana Toraja). Bahkan orang yang sudah meninggal tersebut masih mendapat sajian makanan, minuman, mengenakan pakaian, tetap dalam posisi bediri, dan tetap dikunjungi oleh anggota keluarganya.
Beberapa hari lalu mayat akan dililit dengan selendang panjang dan wajahnya akan dihadapkan ke arah barat.
Masyarakat Tana Toraja meyakini bahwa orang yang meninggal dunia akan memasuki Puya (alam kekal bagi arwah orang yang meninggal). Oleh alasannya itu harus melewati tata cara yang diubahsuaikan dengan kedudukan orang tersebut selama hidup. Seperti halnya upacara watak Ngaben di Pulau Bali, upacara watak selesai hayat di Tana Toraja juga memerlukan biaya yang cukup besar. Sehingga bagi keluarga yang akan menyelenggarakan upacara watak tersebut harus menabung, bahkan sampai bertahun-tahun lamanya.
Pelaksanaan upacara penguburan di Tana Toraja ini dibagi menjadi beberapa kepingan utama. Biasanya jarak antara kedua kepingan tersebut berkisar sekitar satu minggu. Upacara tersebut dipimpin oleh orang yang paling paham mengenai watak istiadat, khususnya tata cara penguburan yang disebut tomabalu. Jenazah dihadapkan ke arah utara dan sekarang ia dianggap benar-benar sudah meninggal. Upacara penguuran juga diikuti dengan pemotongan binatang kurban berupa kerbau dan babi. Jumlah kerbau dan babi yang akan dikurbankan tergantung pada tingkat kedudukan si mati dalam masyarakat. Keluarga si mati diharuskan berpuasa.
Upacara kedua disebut dengan mabolong. Ritual ini juga diadakan pemotongan hewa kurban. Pada tahap upacara ini, mayat dimasukan kedalam peti kayu bulat. Kayu yang dipakai yaitu kayu cendana yang wangi. Bagian atas kayu lingkaran tersebut diletakkan atap kecil mirip bentuk rumah Tongkonan. Peti kayu tersebut diangkat bahu-membahu dan dibawa ke daerah pemakaman yang sesungguhnya. Keluarga si mati harus menyiapkan tau-tau (patung yang sengaja dibentuk ibarat orang yang mati tersebut) dan lakkian (menara persemayaman jenazah).
Upacara penguburan tersebut berlangsung dengan meriah, alasannya diiringi dengan nyanyian dan tari-tarian khas Tana Toraja yang majemuk
ragamnya. Selain itu juga diadakan tubruk kerbau, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di tubruk terlebih dahulu sebelum dipotong, dan tubruk kaki. Acara ini sanggup berlangsung sehari penuh. Acara puncak ditandai dengan pemotongan binatang kurban berupa kerbau dan babi. Hewan-hewan tersebut harus mati dengan sekali tebang memakai sebuah pedang pendek yang tajam. Oleh alasannya itu orang yang melaksanakan harus mempunyai keahlian khusus.
Selanjutnya mayat diturunkan darim menara lakkian dan diangkat ke daerah penguburan. Tempat penguburan tersebut berupa lubang yang dipahatkan pada dinding kerikil di lereng yang terjal. Oleh alasannya itu diharapkan keahlian dan tenaga yang besar dalam mengangkat dan memasukan mayat ke dalam daerah penguburan tersebut. Hanya dengan memakai tangga bambu yang sederhana mereka memasukkan mayat ke daerah penguburannya. Posisi mayat dikala diangkat harus tetap berdiri, sesudah itu mayat diletakan dalam posisi tetap bangun dengan wajah menatap pemandangan lembah yang indah. Setelah mayat berhasil dimasukkan, tau-tau diletakkan di atas tebing yang telah tersedia. Tempat tersebut mirip balkon.
Upacara Rambu Solo' diadakan oleh masyarakat Tana Toraja alasannya mereka meyakini bahwa seseorang dianggap benar-benar meninggal kalau penguburan telah dilaksanakan. Selama upacara tersebut belum diadakan, orang tersebut dianggap masih sakit dan ditempatkan di sebelah selatan Tongkonan (rumah watak di Tana Toraja). Bahkan orang yang sudah meninggal tersebut masih mendapat sajian makanan, minuman, mengenakan pakaian, tetap dalam posisi bediri, dan tetap dikunjungi oleh anggota keluarganya.
Beberapa hari lalu mayat akan dililit dengan selendang panjang dan wajahnya akan dihadapkan ke arah barat.
Masyarakat Tana Toraja meyakini bahwa orang yang meninggal dunia akan memasuki Puya (alam kekal bagi arwah orang yang meninggal). Oleh alasannya itu harus melewati tata cara yang diubahsuaikan dengan kedudukan orang tersebut selama hidup. Seperti halnya upacara watak Ngaben di Pulau Bali, upacara watak selesai hayat di Tana Toraja juga memerlukan biaya yang cukup besar. Sehingga bagi keluarga yang akan menyelenggarakan upacara watak tersebut harus menabung, bahkan sampai bertahun-tahun lamanya.
Pelaksanaan upacara penguburan di Tana Toraja ini dibagi menjadi beberapa kepingan utama. Biasanya jarak antara kedua kepingan tersebut berkisar sekitar satu minggu. Upacara tersebut dipimpin oleh orang yang paling paham mengenai watak istiadat, khususnya tata cara penguburan yang disebut tomabalu. Jenazah dihadapkan ke arah utara dan sekarang ia dianggap benar-benar sudah meninggal. Upacara penguuran juga diikuti dengan pemotongan binatang kurban berupa kerbau dan babi. Jumlah kerbau dan babi yang akan dikurbankan tergantung pada tingkat kedudukan si mati dalam masyarakat. Keluarga si mati diharuskan berpuasa.
Upacara kedua disebut dengan mabolong. Ritual ini juga diadakan pemotongan hewa kurban. Pada tahap upacara ini, mayat dimasukan kedalam peti kayu bulat. Kayu yang dipakai yaitu kayu cendana yang wangi. Bagian atas kayu lingkaran tersebut diletakkan atap kecil mirip bentuk rumah Tongkonan. Peti kayu tersebut diangkat bahu-membahu dan dibawa ke daerah pemakaman yang sesungguhnya. Keluarga si mati harus menyiapkan tau-tau (patung yang sengaja dibentuk ibarat orang yang mati tersebut) dan lakkian (menara persemayaman jenazah).
Upacara penguburan tersebut berlangsung dengan meriah, alasannya diiringi dengan nyanyian dan tari-tarian khas Tana Toraja yang majemuk
ragamnya. Selain itu juga diadakan tubruk kerbau, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di tubruk terlebih dahulu sebelum dipotong, dan tubruk kaki. Acara ini sanggup berlangsung sehari penuh. Acara puncak ditandai dengan pemotongan binatang kurban berupa kerbau dan babi. Hewan-hewan tersebut harus mati dengan sekali tebang memakai sebuah pedang pendek yang tajam. Oleh alasannya itu orang yang melaksanakan harus mempunyai keahlian khusus.
Selanjutnya mayat diturunkan darim menara lakkian dan diangkat ke daerah penguburan. Tempat penguburan tersebut berupa lubang yang dipahatkan pada dinding kerikil di lereng yang terjal. Oleh alasannya itu diharapkan keahlian dan tenaga yang besar dalam mengangkat dan memasukan mayat ke dalam daerah penguburan tersebut. Hanya dengan memakai tangga bambu yang sederhana mereka memasukkan mayat ke daerah penguburannya. Posisi mayat dikala diangkat harus tetap berdiri, sesudah itu mayat diletakan dalam posisi tetap bangun dengan wajah menatap pemandangan lembah yang indah. Setelah mayat berhasil dimasukkan, tau-tau diletakkan di atas tebing yang telah tersedia. Tempat tersebut mirip balkon.