Upacara Sopan Santun Perkawinan Bali
Wednesday, January 13, 2021
Edit
Sebagian besar masyarakat Bali yaitu pemeluk agama Hindu, sehingga memengaruhi segala kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Dalam agama Hindu ijab kabul atau wiwaha yaitu suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup yang yatha sakti keyika dharma. Maksudnya dengan kemampuan sendiri melaksanakan dharma. Makara pemeluk Hindu yang ingin mewujudkan dharmanya, harus berusaha dengan kemampuan sendiri atau mandiri. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus dipersiapkan dengan matang oleh seorang pemeluk Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Menurut agama Hindu perkawinan mempunyai dua tujuan hidup yang sanggup dicapai secara bersamaan. Tujuan tersebut yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Oleh alasannya yaitu itu, ia harus mendapat bimbingan dari seseorang yang memahami pedoman Hindu. Dengan pengetahuan dan bimbingan tersebut, seseorang yang akan menikah sanggup melaksanakan ijab kabul dengan baik dan tidak mendapat rintangan yang mungkin sanggup menghambat prosesi pernikahan.
Dalam agama Hindu dikenal tingkatan kasta dan dadia yang menunjukkan tingkat keberadaan seseorang. Perkawinan di Bali sangat dipengaruhi oleh kasta dan dadia seseorang. Pernikahan yang ideal yaitu pasangan pengantin tersebut berasal dari dadia dan kasta yang sama atau sederajat. Pasangan pengantin ini akan gampang mendapat restu dari masing-masing keluarga dan agama.
Apabila pasangan pengantin berasal dari kasta dan dadia yang berbeda tidak diperbolehkan menikah di Bali. Oleh alasannya yaitu itu, pasangan yang berbeda dadia dan kasta akan melaksanakan ijab kabul di kawasan lain (pulau lain) yang disebut dengan kawin lari. Pernikahan beda kasta dan dadia ini tidak dilaksanakan dengan upacara moral ijab kabul Bali.
Masyarakat Bali juga mengenal prosesi melamar, yng disebut dengan ngidih atau memadik. Pada hari yang telah ditentukan bersama, keluarga dan kerabat pihak laki-laki akan tiba ke rumah pihak perempuan. Mereka akan membicarakan cita-cita mereka untuk meminang anak gadis si tuan rumah dan dinikahkan dengan anak lelakinya.
Selama lamaran tersebut diterima, keluarga pihak laki-laki akan tiba kembali ke rumah pihak perempuan untuk pembicaraan lebih lanjut. Pada pertemuan tersebut akan dibicarakan wacana tata laksana pelaksanaan upacara moral perkawinan. Setelah janji diperoleh, calon pengantin perempuan dibawa pulang ke rumah calon pengantin laki-laki. Upacara moral perkawinan Bali biasanya dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki.
Seorang calon pengantin perempuan akan tinggal di rumah calon suaminya tiga hari sampai diadakan upacara perkawinan. Seorang pemangku moral (pinandhita) akan memimpin upacara pengakuan ijab kabul tersebut berdasarkan hukum agama Hindu Bali. Upacara ini disebut mekala-kalaan Upacara ini mempunyai makna sebagai pengakuan pasangan pengantin melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai. Upacara ini hanya dihadiri keluarga bersahabat pengantin.
Semua peralatan yang dipakai dalam upacara mekala-kalaan mempunyai arti dan simbol tersendiri bagi masyarakat Bali. Peralatan dan simbol yang tersimpan dalam upacara moral perkawinan Bali yaitu sebagai berikut.
Upacara mekala-kalaan dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki. Setelah final dilanjutkan dengan upacara yang lebih besar di sanggah (pura)
keluarga. Makna upacara tersebut yaitu memberikan kepada para leluhur yang bersemayam di sanggah tersebut, bahwa ada satu pendatang gres yang akan menjadi keluarga dan akan melanjutkan keturunannya.
Upacara ini dihadiri oleh seluruh anggota banjar dari pihak laki-laki dan seluruh keluarga pihak perempuan. Dalam masyarakat Bali, banjar merupakan salah satu sistem kemasyarakatan. Banjar merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah.
Upacara yang lebih besar ini biasanya diikuti dengan upacara mepamit (perpisahan). Upacara mepamit diadakan di sanggah pihak keluarga perempuan. Upacara mepamit yaitu upacara yang dilakukan oleh pengantin perempuan untuk meminta ijin (pamit) kepada leluhurnya. Pengantin perempuan telah menikah dan menjadi milik serta tanggung jawab keluarga suminya.
Upacara perpisahan tersebut merupakan program epilog rangkaian upacara perkawinan berdasarkan moral Bali. Pencatatan di Kantor Pencatatan Sipil tetap dilakukan oleh pasangan pengantin. Sehingga ijab kabul yang mereka laksanakan akan resmi secara agama dan diakui oleh pemerintah.
Menurut agama Hindu perkawinan mempunyai dua tujuan hidup yang sanggup dicapai secara bersamaan. Tujuan tersebut yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Oleh alasannya yaitu itu, ia harus mendapat bimbingan dari seseorang yang memahami pedoman Hindu. Dengan pengetahuan dan bimbingan tersebut, seseorang yang akan menikah sanggup melaksanakan ijab kabul dengan baik dan tidak mendapat rintangan yang mungkin sanggup menghambat prosesi pernikahan.
Dalam agama Hindu dikenal tingkatan kasta dan dadia yang menunjukkan tingkat keberadaan seseorang. Perkawinan di Bali sangat dipengaruhi oleh kasta dan dadia seseorang. Pernikahan yang ideal yaitu pasangan pengantin tersebut berasal dari dadia dan kasta yang sama atau sederajat. Pasangan pengantin ini akan gampang mendapat restu dari masing-masing keluarga dan agama.
Apabila pasangan pengantin berasal dari kasta dan dadia yang berbeda tidak diperbolehkan menikah di Bali. Oleh alasannya yaitu itu, pasangan yang berbeda dadia dan kasta akan melaksanakan ijab kabul di kawasan lain (pulau lain) yang disebut dengan kawin lari. Pernikahan beda kasta dan dadia ini tidak dilaksanakan dengan upacara moral ijab kabul Bali.
Masyarakat Bali juga mengenal prosesi melamar, yng disebut dengan ngidih atau memadik. Pada hari yang telah ditentukan bersama, keluarga dan kerabat pihak laki-laki akan tiba ke rumah pihak perempuan. Mereka akan membicarakan cita-cita mereka untuk meminang anak gadis si tuan rumah dan dinikahkan dengan anak lelakinya.
Selama lamaran tersebut diterima, keluarga pihak laki-laki akan tiba kembali ke rumah pihak perempuan untuk pembicaraan lebih lanjut. Pada pertemuan tersebut akan dibicarakan wacana tata laksana pelaksanaan upacara moral perkawinan. Setelah janji diperoleh, calon pengantin perempuan dibawa pulang ke rumah calon pengantin laki-laki. Upacara moral perkawinan Bali biasanya dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki.
Seorang calon pengantin perempuan akan tinggal di rumah calon suaminya tiga hari sampai diadakan upacara perkawinan. Seorang pemangku moral (pinandhita) akan memimpin upacara pengakuan ijab kabul tersebut berdasarkan hukum agama Hindu Bali. Upacara ini disebut mekala-kalaan Upacara ini mempunyai makna sebagai pengakuan pasangan pengantin melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai. Upacara ini hanya dihadiri keluarga bersahabat pengantin.
Semua peralatan yang dipakai dalam upacara mekala-kalaan mempunyai arti dan simbol tersendiri bagi masyarakat Bali. Peralatan dan simbol yang tersimpan dalam upacara moral perkawinan Bali yaitu sebagai berikut.
- Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) istana Sang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah kanan halaman rumah digantungkan biyu lalung yang merupakan simbol kebajikan, ketampaanan, dan kebijaksanaa pengantin pria. Sementara di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem simbol kecantikan serta budi pengantin wanita.
- Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg). Kala Badeng simbol calon pengantin yang diletakkan sebagai ganjal upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
- Tikeh Dadakan (tikar kecil). Tikar yang diduduki oleh pengantin perempuan sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita.
- Keris sebagai lambang kekuatan dari pengantin pria.
- Benang Putih dibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Benang putih ini diibaratkan sebagai lapisan kehidupan. Dengan demikian pasangan pengantin ini siap meningkatkan alam kehidupannya menjadi tingkatan yang lebih tinggi.
- Tegen – tegenan. Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambilalihan tanggung jawab sekala dan niskala.
- Suwun-suwunan (sarana jinjingan). Berupa bakul yang dijinjing mempelai perempuan yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan kiprah perempuan atau istri membuatkan benih yang diberikan suami, dibutuhkan mirip pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berubah menjadi besar.
- Dagang-dagangan melambangkan janji dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul akhir perkawinan tersebut.
- Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin laki-laki dan perempuan saling mencermati satu sama lain, saling memperingatkan semoga selalu melaksanakan ibadah dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup dalam berumah tangga.
- Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Kedua mempelai saling tendang serabut kelapa tersebut sebanyak tiga kali. Setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Sambuk kupakan mengandung arti bila mengalami perselisihan semoga sanggup saling mengalah, serta cepat instrospeksi diri. Jika upacara final sabut kelapa itu disimpan di bawah kawasan tidur mempelai berdua.
- Tetimpug adalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
Upacara mekala-kalaan dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki. Setelah final dilanjutkan dengan upacara yang lebih besar di sanggah (pura)
keluarga. Makna upacara tersebut yaitu memberikan kepada para leluhur yang bersemayam di sanggah tersebut, bahwa ada satu pendatang gres yang akan menjadi keluarga dan akan melanjutkan keturunannya.
Upacara ini dihadiri oleh seluruh anggota banjar dari pihak laki-laki dan seluruh keluarga pihak perempuan. Dalam masyarakat Bali, banjar merupakan salah satu sistem kemasyarakatan. Banjar merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah.
Upacara yang lebih besar ini biasanya diikuti dengan upacara mepamit (perpisahan). Upacara mepamit diadakan di sanggah pihak keluarga perempuan. Upacara mepamit yaitu upacara yang dilakukan oleh pengantin perempuan untuk meminta ijin (pamit) kepada leluhurnya. Pengantin perempuan telah menikah dan menjadi milik serta tanggung jawab keluarga suminya.
Upacara perpisahan tersebut merupakan program epilog rangkaian upacara perkawinan berdasarkan moral Bali. Pencatatan di Kantor Pencatatan Sipil tetap dilakukan oleh pasangan pengantin. Sehingga ijab kabul yang mereka laksanakan akan resmi secara agama dan diakui oleh pemerintah.