Dualisme Kepemimpinan Nasional
Tuesday, March 31, 2020
Edit
Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 ialah adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai kepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden dan Soeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Dualisme Kepemimpinan Soekarno-Soeharto diawali dengan perbedaan penafsiran mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto menganggap bahwa SP 11 Maret merupakan penyerahan kekuasaan, sedangkan Soekarno merasa bahwa SP 11 Maret hanyalah perintah pengamanan belaka.
Memasuki tahun 1966 terlihat tanda-tanda krisis kepemimpinan nasional. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak semoga PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno,
Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan kiprah harian dipegang oleh Soeharto. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Dalam Sidang MPRS yang digelar semenjak final bulan Juni hingga awal Juli 1966 tetapkan menyebabkan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara aturan Supersemar tidak lagi sanggup dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara aturan Soeharto memiliki kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.
Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.
Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno memberikan pidato “Nawaksara”(sembilan pokok dilema yang dianggap penting). Anggota MPRS tidak puas lantaran isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya G30S/PKI.
Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS tetapkan untuk minta kepada presiden semoga melengkapi laporan pertanggung jawabannya. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden memberikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelengkap Nawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya bencana Gerakan 30 September.
Pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS semoga mengadakan Sidang Istimewa. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan eksklusif kepada Presiden Soekarno semoga ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan forum kepresidenan dan eksklusif Presiden Soekarno.
Presiden menulis nota eksklusif kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967. Soeharto membahas surat Presiden dan berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak sanggup diterima lantaran bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menuntaskan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967.
Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Soekarno memerintahkan semoga Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967. Tepat pada tanggal 22 Pebruari 1967 pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.