Menuliskan Kembali Dongeng Pendek

Cerpen sebagai salah satu hasil karya sastra mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra yang berasal atau terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik karya sastra mencakup tema, amanat, alur, latar, penokohan, sudut pandang, serta gaya bahasa. Adapun unsur ekstrinsik merupakan unsur pembentuk karya sastra yang berasal dari luar karya sastra. Unsur ekstrinsik mencakup latar belakang budaya dan pendidikan pengarang, etika istiadat daerah, dan sebagainya. Kedua unsur ini bergabung menjadi satu dalam membangun sebuah cerpen.

Dalam menceritakan kembali secara mulut isi cerpen, diharapkan kejelian dan kecermatan terhadap urutan dan motif insiden yang terdapat pada cerpen. Dengan cara pengamatan demikian, secara cepat akan mengetahui tokoh yang terlibat, serta latar tempat, waktu, dan suasana yang melatarbelakangi insiden tersebut. Selain itu, kalian juga akan menerima sedikit citra perihal tema dan amanat yang hendak disampaikan penulis atau pengarang melalui karyanya tersebut.

Salah satu cara yang sanggup dilakukan sebelum menuliskan kembali isi cerpen yaitu dengan cara menulis sinopsis cerpen tersebut. Penulisan sinopsis dilakukan dengan mengubah sudut pandang cerpen. Menuliskan kembali isi cerpen berarti menempatkan kita sebagai pencerita ulang. Dengan demikian, sudut pandang kisah yaitu sudut pandang orang ketiga, meskipun cerpen yang kita ceritakan memakai sudut pandang orang pertama.

Menuliskan kembali isi cerpen yang pernah dibaca, tidak berarti menuliskan ulang cerpen tersebut tetapi menceritakan ulang. Jadi, bentuk penceritaan ulang tersebut menyerupai layaknya sebuah sinopsis atau ringkasan cerita.

Batu di Pekarangan Rumah
Oleh: Sapardi Djoko Damono

Waktu saya masih kecil ada sebuah watu agak besar tergeletak di salah satu sudut belakang pekarangan rumah kami. Batu itu bundar, bab atasnya agak rata, hitam legam. Aku suka duduk di atasnya jikalau teman-teman sudah pulang ke rumah masing-masing sehabis bermain di pekarangan rumah kami itu. Aku sayang sekali pada watu itu alasannya yaitu ia pendiam meskipun sepertinya tidak berkeberatan jikalau diajak bicara mengenai apa saja. Jika sedang sendirian malam-malam, sehabis bermain gobak sodor atau jamuran saya suka duduk di atasnya melepaskan lelah sambil memperlihatkan rasa sayangku padanya. Kutanyakan kapan ia lahir, sebagai batu, kenapa ia berada di situ, siapa yang telah membawanya ke pekarangan rumah kami, dan kenapa ia lebih suka membisu. Aku tidak mengharapkannya menjawab pertanyaanpertanyaanku itu, alasannya yaitu toh seandainya dijawab saya tidak akan bisa memahaminya. Ia mempunyai bahasa lain, tetapi sepertinya ia memahami sepenuhnya makna setiap pertanyaanku. Aku sangat menyayanginya dan merasa menyerupai kehilangan mitra untuk menyebarkan perasaan ketika harus pergi meninggalkan rumah demi mata pencaharian, mengembara dari kota ke kota.

Hari ini saya pulang untuk mengiringkan dan memberikan salam pisah kepada ibuku yang selalu saya bayangkan sebagai seorang dewi itu. Beliau meninggal dengan sangat hening kemarin tanpa meninggalkan pesan apa pun. Namun saya merasa bahwa ada sesuatu yang harus kulakukan sehabis pemakamannya, yakni melihat apakah watu itu masih ada di tempatnya yang dulu. Aku yakin dulu Ibu suka rahasia menyaksikanku duduk di situ hingga larut malam. Batu yang agak besar dan hitam legam itu ternyata memang masih di situ, diam saja menyerupai menunggu kedatanganku. Malam ini suasana sepi sesudah semua keluar dan tamu yang memberikan belasungkawa meninggalkan rumah kami. Aku dan watu itu berdua saja: saya duduk di atasnya dan sama sekali tidak berniat mengajukan pertanyaan menyerupai waktu masih kecil dulu itu. Ia tetap pendiam. Dan saya yakin bahwa kini ia pun sama sekali tidak berminat menyebarkan perasaan denganku lantaran tidak lagi bisa menguasai kosakata bahasaku.




Setelah memahami cerpen di atas, ceritakanlah kembali cerpen Batu di Pekarangan Rumah tersebut dengan gaya bahasa dan pemahaman. Dalam penceritaan kembali, dihentikan menyimpang atau menyalahi alur kronologis (urutan jalan cerita) cerpen itu. Dengan kata lain, inti kisah cerpen yang kalian ceritakan tetap mengacu pada cerpen aslinya, tetapi cara penyampaiannya sanggup berbeda sesuai dengan aksara dan gaya masing-masing.

Judul Cerpen : Batu di Pekarangan Rumah
Pengarang : Sapardi Djoko Damono

Isi cerpen :
Sewaktu saya masih kecil, saya sangat menyukai watu yang terletak di pekarangan rumahku. Aku sangat menyayanginya. Meskipun ia hanya watu yang selalu diam, saya merasa bahwa ia tidak keberatan untuk kuajak bicara. Sehabis bermain dengan teman-temanku, atau saat-saat sendiri, saya selalu duduk diatas watu itu untuk melepas lelah dan mengungkapkan rasa sayangku pada watu tersebut. Namun, pada suatu ketika saya merasa sangat kehilangan watu itu, lantaran saya harus merantau ke kota lain untuk mencari penghidupan.

Pada suatu hari saya pulang ke rumah di kampunghalamanku untuk mengiringkan mayat ibu. Setelah program pemakaman selesai dan semua saudara telah meninggalkan rumah, saya tidak pribadi pergi. Aku merasa masih harus ada yang perlu saya lakukan di rumah ini, yaitu menemui watu di pekarangan rumah. Aku merasa watu itu telah menunggu kedatanganku

Bingkisan Lebaran
Oleh: Sapardi Djoko Damono

Rumahnya kosong, ibunya tentunya sedang pergi entah ke mana. Sejak ditinggal ayahnya beberapa tahun yang lalu, Mawar, murid kelas lima yang wajahnya selalu tampak kemerah-merahan itu, tinggal bersama ibunya saja di rumah yang dibeli dengan uang peninggalan suaminya. Lelaki itu meninggal dalam menjalankan kiprah sebagai reporter dan mendapatkan semacam uang pesangon yang tidak mengecewakan jumlahnya. Cukup untuk membeli sebuah rumah sederhana di sebuah real estate (perumahan) agak di luar kota. Ibunya kerja di rumah, mendapatkan jahitan pakaian belum dewasa dan wanita. “Terima kasih, tidak usah sajalah. Penghasilan saya cukup untuk kami berdua,” begitu katanya setiap kali ada kerabat yang memperlihatkan pertolongan.

Perempuan itu dididik untuk bekerja keras, kakek Mawar selalu berpesan semoga ibunya itu jangan bergantung pada siapa pun. Pesan itu dilaksanakannya. Dan perempuan itu menerapkan prinsip serupa terhadap anak gadis satu-satunya itu. Pulang dari sekolah sehabis makan, Mawar diajar membantunya; ia sudah bakir memasang kancing danmenggunting potongan-potongan kain untuk saku dan kerah. Ia menyukai pekerjaan itu meskipun kadang kala merasa iri kepada belum dewasa sebayanya yang setiap pulang sekolah main sepeda atau bola di sepanjang jalan kecil di depan rumahnya. Ia tidak pernah mengeluh kepada ibunya.

Siang itu rumahnya kosong, belum pernah terjadi. Biasanya pintunya terbuka dan ibunya terlihat sedang menjahit atau memotong kain. Mawar duduk di teras, kadang kala menjawab teriakan atau

Related:


    lambaian tangan sambil kemudian dari temantemannya yang juga pulang sekolah. Sekolahnya agak jauh dan setiap hari ia naik kendaraan beroda empat jemputan yang tentu saja harus berputar-putar dahulu sebelum mencapai rumahnya, terminal terakhir kendaraan beroda empat jemputan itu. Seperti biasanya gadis itu turun di pertigaan akrab rumahnya, kemudian jalan kaki

    Setiap hari mobilnya melewati jalan kampung dan jalan besar. Setiap hari dilihatnya beberapa anak sebayanya bermain-main di perempatan bawah jembatan layang, menunggu lampu merah. Mawar tahu mereka itu mengemis, ia juga menyaksikan mereka selalu bangga bermain di pinggir jalan jikalau lampu sudah hijau kembali. Mereka berkejaran, jejeritan, main bola. Dalam khayal Mawar, mereka bahkan bisa terbang melampaui jalan tol, main bola sambil naik sapu, persis menyerupai apa yang pernah dibacanya dalam buku cerita. Di antara mereka ada seorang anak perempuan sebayanya yang selalu diperhatikan dan sepertinya memerhatikan juga setiap kali bis sekolah itu lewat di sana. Mawar membayangkan kehidupan yang bahagia, bermain sambil mencari makan. Ia tidak pernah mempermasalahkan apakah anak itu sekolah atau tidak meskipun logika sehatnya tentu tahu bahwa pengemispengemis kecil itu belum dewasa putus sekolah.

    Beberapa puluh menit ia duduk di teras, ibunya belum muncul juga. Ia diajarkan untuk tidak bergantung pada siapa pun apalagi kebanyakan rumah tetangganya sudah kosong ditinggal penghuninya yang pulang lebaran ke kampung. Hari itu hari terakhir menjelang libur dan ibunya tidak punya planning pergi ke mana-mana. “Kita simpan saja uang lebaran untuk sekolah kamu,” katanya kepada Mawar. “Untuk apa pulang kampung!” Mawar segera membayangkan suasana sepi sehabis mendengar keputusan ibunya itu. Ia tidak akan bertemu sepupu-sepupunya di kampung. Juga paman dan bibinya yang suka membagi hadiah. Juga nenek dan kakeknya.

    Ibunya tidak muncul-muncul juga. Hari menjelang Magrib ketika gadis kecil itu tetapkan untuk bangun dan berjalan meninggalkan rumahnya. Ia masih menyimpan uang jajan hari itu, tadi pulangnya agak cepat. Langkahnya tidak memperlihatkan apakah ia capek atau lapar atau apa. Sama sekali tidak menoleh ke rumahnya lagi. Tidak dijumpai juga ibunya di jalan. Ia diajarkan dengan keras untuk tidak bergantung kepada siapa pun, juga kepada ibunya.

    Judul Cerpen : Bingkisan Lebaran
    Pengarang : Sapardi Djoko Damono
    Isi cerpen :
    Mawar tinggal bersama ibu di rumah peninggalan bapaknya yang mendapatkan uang pesangon dan dipakai untuk membeli rumah sederhana. Ibu bekerja di rumah menjahit dan selalu menolak pinjaman dari kerabatnya.

    Ibu dididik untuk bekerja keras dan tidak bergantung kepada orang lain oleh kakek. Ibu menerapkan prinsip tersebut kepada Mawar. Sepulang sekolah Mawar membantu ibu menjahit. Mawar menyukai pekerjaan dan tidak pernah mengeluh kepada ibunya.

    Rumah Mawar siang itu kosong. biasanya pintunya terbuka dan melihat ibunya sedang menjahit. Mawar duduk di teras, sesekali menjawab lambain temanya yang pulang sekolah. Sekolahnya jauh sehingga ia harus naik kendaraan beroda empat jemputan

    Ketika kendaraan beroda empat jemputan melewati jalan kampung ia melihat beberapa anak pengemis yang sedang bermain-main. Mawar berkhayal, mereka bisa terbang dan main bola sambil naik sapu, persis menyerupai dalam buku cerita. Di antara mereka ada seorang anak perempuan yang menarik perhatiannya. Mawar membayangkan kehidupan yang bahagia, meskipun pengemis-pengemis kecil itu belum dewasa putus sekolah.

    Setelah beberapa puluh menit Mawar duduk, namun ibunya belum muncul juga. Rumah tetangganya tampak sepi lantaran ditinggal pulang kampung. Hari itu yaitu  hari terakhir menjelang libur, namun mereka berencana tidak pulang kampung. Mawar membayangkan suasana sepi ketika libur nanti. Ia juga tidak akan bertemu sanak saudaranya.

    Ketika hari menjelang Magrib, Mawar berjalan meninggalkan rumah. Langkahnya biasa dan sama sekali tidak menoleh ke rumahnya lagi. Tidak dijumpai juga ibunya di jalan. Ia diajarkan dengan keras untuk tidak bergantung kepada siapa pun, juga kepada ibunya.

    Related Posts

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel