Mengenal Upacara Sekaten Di Solo
Saturday, October 31, 2020
Edit
Sekaten merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad yang bertepatan pada tanggal 12 bulan Maulud dalam bentuk ritual upacara susila yang digelar oleh dua keraton yaitu Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat (Yogyakarta) dan Keraton Surakarta Hadiningrat (Solo). Terdapat sejumlah kesamaan dan perbedaan dalam upacara di dua keraton tersebut. Upacara Sekaten merupakan upacara susila yang tidak berkaitan dengan siklus hidup manusia. Upacara sekaten ini juga dipakai oleh raja/sultan untuk berkomunikasi dengan rakyatnya dan untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada masa awal perkembangan agama Islam, Sunan Kalijaga memakai gamelan untuk membuatkan Agama Islam. Dua perangkat gamelan tersebut berjulukan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Sunan Kalijaga membunyikan gamelan untuk menarik minat penduduk biar tiba untuk menikmati pagelaran. Disela-sela pagelaran tersebut ia mengadakan khutbah untuk membuatkan agama Islam. Bagi penduduk yang ingin memeluk agama
Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat. Istilah syahadat yang diucapkan syahadatain berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya menjadi syakatain dan pada hasilnya menjadi Sekaten.
Ada versi lain bahwa istilah Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian program peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain menyampaikan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) sebab orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan senang dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Sebagai upacara pendahuluan, sekaten diadakan seminggu sebelum hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.yaitu pada tanggal 5 Maulud. Kedua perangkat gamelan dikeluarkan dari daerah penyimpanannya di Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan utara (Keben). Pada sore hari, kedua perangkat gamelan tersebut mulai dibunyikan. Beranjak tengah malam, kedua perangkat gamelan diarak oleh iring-iringan abdi dalem jajar disertai prajurit pengawal keraton berseragam lengkap menuju Masjid Agung. Di Masjid Agung akan dibunyikan setiap hari kecuali hari Jum'at hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Gamelan yang pertama dibunyikan ialah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul lalu dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan tiba mendekat dan gendhing dibentuk lembut hingga Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Selama dan sebelum sekaten diadakan pula pasar malam yang dimeriahkan oleh warga di alun-alun utara.
Puncak program sekaten ialah Grebeg Maulud yang jatuh pada tanggal 12 Maulud yng diawali oleh parade prajurit keraton mengenakan pakaian kebesarannya. Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan dan keraton melewati Sitihinggil menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Dalam parade ini diusung pula sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Gunungan tersebut melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Mataram.
Pada dikala parade menyeberangi alun-alun utara, mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan dorkan prajurit keraton yang telah menunggu.
Proses tersebut disebut dengan garebeg. Kata garebeg berasal dari bahasa Jawa brebeg atau gumrebeg yang berarti suara ribut. Gunungan tersebut didoakan dan diberkahi di Masjid Agung. Kemudian gunungan tersebut akan diperebutkan oleh warga yang tiba menyaksikan program grebeg Maulud. Mereka mempercayai bahwa gunungan itu merupakan benda suci dan akan membawa berkah bagi kesehatan dan keselamatan mereka. Setelah upacara selesai, dua perangkat gamelan akan dibawa kembali ke daerah penyimpanannya di keraton.
Pada masa awal perkembangan agama Islam, Sunan Kalijaga memakai gamelan untuk membuatkan Agama Islam. Dua perangkat gamelan tersebut berjulukan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Sunan Kalijaga membunyikan gamelan untuk menarik minat penduduk biar tiba untuk menikmati pagelaran. Disela-sela pagelaran tersebut ia mengadakan khutbah untuk membuatkan agama Islam. Bagi penduduk yang ingin memeluk agama
Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat. Istilah syahadat yang diucapkan syahadatain berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya menjadi syakatain dan pada hasilnya menjadi Sekaten.
Ada versi lain bahwa istilah Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian program peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain menyampaikan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) sebab orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan senang dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Sebagai upacara pendahuluan, sekaten diadakan seminggu sebelum hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.yaitu pada tanggal 5 Maulud. Kedua perangkat gamelan dikeluarkan dari daerah penyimpanannya di Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan utara (Keben). Pada sore hari, kedua perangkat gamelan tersebut mulai dibunyikan. Beranjak tengah malam, kedua perangkat gamelan diarak oleh iring-iringan abdi dalem jajar disertai prajurit pengawal keraton berseragam lengkap menuju Masjid Agung. Di Masjid Agung akan dibunyikan setiap hari kecuali hari Jum'at hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Gamelan yang pertama dibunyikan ialah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul lalu dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan tiba mendekat dan gendhing dibentuk lembut hingga Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Selama dan sebelum sekaten diadakan pula pasar malam yang dimeriahkan oleh warga di alun-alun utara.
Puncak program sekaten ialah Grebeg Maulud yang jatuh pada tanggal 12 Maulud yng diawali oleh parade prajurit keraton mengenakan pakaian kebesarannya. Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan dan keraton melewati Sitihinggil menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Dalam parade ini diusung pula sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Gunungan tersebut melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Mataram.
Pada dikala parade menyeberangi alun-alun utara, mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan dorkan prajurit keraton yang telah menunggu.
Proses tersebut disebut dengan garebeg. Kata garebeg berasal dari bahasa Jawa brebeg atau gumrebeg yang berarti suara ribut. Gunungan tersebut didoakan dan diberkahi di Masjid Agung. Kemudian gunungan tersebut akan diperebutkan oleh warga yang tiba menyaksikan program grebeg Maulud. Mereka mempercayai bahwa gunungan itu merupakan benda suci dan akan membawa berkah bagi kesehatan dan keselamatan mereka. Setelah upacara selesai, dua perangkat gamelan akan dibawa kembali ke daerah penyimpanannya di keraton.