Membandingkan Teks Dongeng Fiksi Dalam Novel
Wednesday, July 29, 2020
Edit
Related:
Bahasa merupakan wahana utama penghasil teks. Bahasa ialah sarana bagi pengarang semoga leluasa mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaannya. Bahasa dalam novel pada umumnya penuh makna dan menimbulkan dampak estetik. Seorang pengarang harus bisa menentukan dan menggunakan kata-kata yang sanggup memperkaya makna, menggambarkan objek dan insiden secara imajinatif, serta menunjukkan dampak emotif bagi pembacanya. Melalui penggunaan gaya bahasa yang tepat, diksi atau pilihan kata yang dilakukan pengarang akan memikat pembaca untuk terus mengikuti jalan dongeng yang disuguhkan.
Sebagai pembanding novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri, kalian diminta membaca novel Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Untuk sanggup memahami jalan dongeng yang disajikan Andrea Hirata melalui novelnya tersebut, kalian bisa mencari novelnya di toko buku atau internet. Dengan membaca novel ini, tentu saja kalian akan lebih gampang menganalisisnya. Perbandingan permasalahan yang terdapat dalam novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri dan Laskar Pelangi:
Laskar Pelangi | Nyanyi Sunyi dari Indragiri |
|
|
Membandingkan bisa dengan mencari persamaan maupun perbedaan hal yang dibandingkan. Seperti halnya teks dongeng pada novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri terdapat beberapa struktur teks lain di dalamnya, sehingga novel ini disebut juga dengan genre makro. Salah satunya ialah teks eksplanasi menyerupai di bawah ini.
Struktur | Nyanyi Sunyi dari Indragiri, 2004, (Halaman 38-41) |
---|---|
Pernyataan Umum | Tahun 1986, inilah tahun terburuk dalam sejarah tragedi di kampungnya. Dia gres tamat SD ketika itu dan umurnya gres 12 tahun. Meski masih busuk ingus, tetapi dia ingat betul semua yang terjadi di kampungnya; panas terik sepanjang tahun, beras menjadi langka, pohon karet tak mengeluarkan getah alasannya ialah tak tersiram air. Penduduk kampung ini kesannya banyak yang mencari ubi dan talas ke kampung lain untuk sekadar mempertahankan hidup. |
Urutan Sebab-Akibat | Tahun 1986, inilah tahun terburuk dalam sejarah tragedi di kampungnya. Dia gres tamat SD ketika itu dan umurnya gres 12 tahun. Meski masih busuk ingus, tetapi dia ingat betul semua yang terjadi di kampungnya; panas terik sepanjang tahun, beras menjadi langka, pohon karet tak mengeluarkan getah alasannya ialah tak tersiram air. Penduduk kampung ini kesannya banyak yang mencari ubi dan talas ke kampung lain untuk sekadar mempertahankan hidup. |
UrutanSebab- Akibat | “Ini cobaan dari Tuhan, Anakku....” kata abahnya ketika itu. Tapi mungkin juga peringatan dari Tuhan alasannya ialah selama ini kita lalai dan tidak menjalankan apa yang diperintahkan,” sambung abahnya lagi. “Apo nak kito buat, Abah?” katanya dalam bahasa kampung, adonan antara logat dusun Jambi dan Indragiri. “Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah semoga tragedi kekeringan ini berakhir.” “Apakah Allah mau dengar doa dan undangan kita?” “Jika ini memang ujian, Allah tak akan memberi ujian yang tidak bisa diterima oleh manusia....” Setiap malam, Kalid pergi ke surau untuk mengaji bersama teman-teman sebayanya. Setiap pulang dari surau, Kalid pribadi bercerita kepada abah dan uminya, bahwa dia ingin perguruan dan tidak hanya sekadar akil mengaji. “Saya ingin jadi insinyur, Abah, biar saya membangun jembatan di atas Sungai Indragiri ini,” katanya suatu kali. Abah dan uminya hanya tersenyum mendengar itu. Di lain kesempatan, juga ketika pulang dari surau, dia menyampaikan bahwa lebih baik menjadi guru, semoga bisa menjadikan orang insinyur atau pejabat. “Kalau jadi insinyur saya hanya sendirian, tetapi kalau jadi guru, saya bisa membuat banyak insinyur,” katanya. Lagi, abah dan uminya hanya tertawa mendengar itu. Panas terik masih terus memanggang kampungnya, juga kampung-kampung lain di pinggir sungai itu. Asap mengepul dari hutan-hutan di pinggir kampung yang sudah banyak terbakar. Hampir setiap hari pula, dia selalu mendengar bunyi mesin penebang kayu meraung-raung tidak siang tidak malam dan beberapa hari kemudian kayu-kayu, yang sudah dirajang dengan rapi baik berbentuk papan maupun batangan segi empat, dikeluarkan oleh serombongan kerbau dari hutan. |
Urutan Sebab- Akibat | Sesampai di pinggir sungai, ada orang yang mengikatnya dengan tali atau kawat dan kemudian dalam jumlah besar dialirkan ke arah hilir sungai dan dikendalikan oleh pompong bermesin diesel. Hampir setiap hari, dalam panas yang memanggang kampung itu, hal menyerupai ini terjadi; kayu yang ditarik kerbau keluar dari hutan menuju pinggir sungai, dan rombongan aliran kayu ke arah hilir. Kalid bertanya kepada abahnya, apakah mereka yang bekerja itu ialah orang kampungnya. “Mereka bekerja kepada seorang pengusaha dari kota yang dibeking pegawanegeri untuk menebang hutan di sekitar kampung kita. Mereka sudah menghabiskan hutan di kawasan hulu, dan kini giliran kampung kita dan kampung-kampung lain yang akan dihabiskan kayunya....” “Apakah upah mereka mahal, Abah?” “Harga kayu itu yang mahal, upah untuk mereka yang menebang, menggergaji, dan semuanya itu sangat kecil. Padahal mereka mempertaruhkan nyawa. Tidak sedikit dari mereka yang mati ketika menebang kayu.” “Tapi mereka mau bekerja?” “Kita semua butuh uang...” “Ayah tidak bekerja bersama mereka?” “Ayah masih bisa mencari pekejaan lain.” “Banyak orang kampung kita yang bekerja menyerupai itu, kan Bah?” “Suatu dikala kau akan tahu, merekalah yang bersama-sama membuat bibit tragedi untuk kampung kita.” “Kenapa, Abah?” “Karena mereka menghancurkan hutan yang menyerap dan menyimpan air dikala demam isu hujan dan mengeluarkannya " “Apakah upah mereka mahal, Abah?” “Harga kayu itu yang mahal, upah untuk mereka yang menebang, menggergaji, dan semuanya itu sangat kecil. Padahal mereka mempertaruhkan nyawa. Tidak sedikit dari mereka yang mati ketika menebang kayu.” “Tapi mereka mau bekerja?” “Kita semua butuh uang...” “Ayah tidak bekerja bersama mereka?” “Ayah masih bisa mencari pekejaan lain.” “Banyak orang kampung kita yang bekerja menyerupai itu, kan Bah?” “Suatu dikala kau akan tahu, merekalah yang bersama-sama membuat bibit tragedi untuk kampung kita.” “Kenapa, Abah?” “Karena mereka menghancurkan hutan yang menyerap dan menyimpan air dikala demam isu hujan dan mengeluarkannya Kalid kecil ketika itu belum paham benar apa itu ekosistem. Kelak, ketika dia besar, dia gres paham dan murka semarah-marahnya. |
Dalam novel Laskar Pelangi juga ditemukan teks eksplanasi menyerupai pada rujukan di bawah ini.
Struktur | Laskar Pelangi, 2007 |
---|---|
Pernyataan Umum | N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya mempunyai selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri). Namun, ia bertekad melanjutkan harapan ayahnya-K.A. Abdul Hamid, penggagas sekolah Muhammadiyah di Belitong-untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup tak terkira, alasannya ialah kami kekurangan guru- lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka, selama enam tahun di SD Muhammadiyah, ia sendiri yang mengajar semua mata pelajara-mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, hingga Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, ia melanjutkan bekerja mendapatkan jahitan hingga jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya. (Laskar Pelangi, 2007:29-30) |
Urutan Sebab-Akibat | Tak susah melukiskan sekolah kami, alasannya ialah sekolah kami ialah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang bila disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen, bisa rubuh berantakan. Kami mempunyai enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk Sekolah Menengah Pertama Muhammadiah. Maka kami, sepuluh siswa gres ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan mitra sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan Sekolah Menengah Pertama itu. Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah menggunakan sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan menunjukkan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar lingkaran menyerupai kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada goresan pena besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran Belitong. Obat asing yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit. (Laskar Pelangi, 2007:17—18) |
UrutanSebab- Akibat | Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang laki-laki yang berpakaian menyerupai ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung alumunium besar dengan slang yang menjalar ke sana ke mari. Ia akan berangkat ke bulan. Pria ini ialah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih tebal mengepul menyerupai kebakaran hebat, kami pun bersorak-sorak kegirangan. Sekolah kami tidak dijaga alasannya ialah tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang membuktikan bangunan itu sekolah ialah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di akrab lonceng. Lonceng kami ialah besi lingkaran berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis SD MD (Sekolah Dasar Muhammadiyah). (Laskar Pelangi, 2007:17-18) |